Thursday, October 29, 2015

PENULIS - PENULIS ACEH ABAD KE-17

PENULIS – PENULIS ACEH ABAD KE-17

Oleh:
NAMA                         : RAHMAN ABIDIN
NIM                             : 2014.131.017
MATA KULIAH        :SEJARAH NASIONAL INDONESIA III
DOSEN                       :M. IDRIS. M.Pd




unipgri

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2015
Penulis - Penulis Aceh Abad Ke-17
Pada abad ke-17 M Aceh mengalami puncak kejayaannya sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan di Asia Tenggara. Kerajaan Islam terbesar di Nusantara ini menjelma sebagai kerajaan maritim yang tangguh dan sekaligus menjadi pusat penyebaran dan kegiatan intelektual Islam yang sangat berpengaruh. Sejumlah ulama besar, sastrawan dan sufi terkemuka yang pemikirannya sangat berpengaruh pada generasi cendekiawan Muslim abad-abad sesudahnya, muncul secara berkelanjutan dari sini. Suburnya penulisan sastra dan kitab keagamaan di Aceh terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604), Iskandar Muda (1607-1636) dan Iskandar Tsani (1637-1641). Selain Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, yang menulis pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah sebagaimana telah disebutkan, tokoh terkemuka lain yang masyhur dalam penulisan karya sastra dan keagamaan ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel.
1.    Syamsudin al-Sumatrani
Dia juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai, adalah seorang ahli tasawuf dan penulis yang prolifik. Dia adalah penasehat utama Sultan Iskandar Muda di bidang keagamaan dan pemerintahan, bahkan pernah menjabat sebagai mufti istana dan perdana menteri. Ajaran Martabat Tujuh, suatu faham tasawuf wujudiyah yang diasaskan oleh Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri di India pada akhir abad ke-16, dirumuskan sebagai bentuk tasawuf Nusantara yang populer oleh Syamsudin. Sumbangan tokoh ini terutama dalam penulisan sastra kitab, yaitu karya-karya membahas ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi dan tasawuf secara sistematis.
Dalamm hubungannya dengan sastra, peranan Syamsudin terutama tampak dalam upayanya untuk mengembangkan kritik sastra berdasarkan hermeneutika sufi yang biasa disebut ta`wil. Metode ini telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam sejak abad ke-11 M. Karya Syamsudin mengenai ta`wil tampak dalam risalahnya  Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri. Ta`wil adalah metode penafsiran sastra dengan melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna batin dan makna isyarah atausugestif). Pemahaman mendalam hanya dapat timbul apabila seorang pembaca mampu menembus lubuk terdalam makna, yaitu gagasan dan pandangan dunia (Weltsanschauung) penulisnya. Konteks sejarah dan budaya penulis juga harus diketahui sebagai syarat pemahaman yang mendalam dan bermanfaat. Untuk puisi penyair sufi, simbolisme sufi juga perlu diketahui dan simbolisme tersebut berkaitan dengan kosmologi, ontologi, epistemologi dan psikologi sufi. Kata-kata dalam puisi adalah makna yang diturunkan dari makna-makna, sehingga banyak tafsir dibuat secara meluas oleh seorang yang berilmu.
Syamsudin al-Sumatrani tidak banyak menulis puisi. Karya-karyanya terutama berupa risalah tasawuf yang tergolong sastra kitab. Di antaranya Mir`at al-Mu`minin (Cermin Orang Beriman),Mir`at al-Iman (Cermin Keimanan), Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna(Lingkaran Dua Busur Kehampiran Dengan Tuhan), Mir` atal-Muhaqqiqin (Cermin Penuntut Hakikat), Jawahir al-Haqa`iq (Mutiara Hakikat), Nur al- Daqa`iq,  Kitab al-Haraqah,dan lain-lain.
Nilai estetik karya-karyanya tampak dalam kutipan berikut, yang menerangkan tentang kedudukan ruh manusia menurut pandangan faham wujudiyah:
“Ada pun ruh al-qudus itu nyata pada hati sanubari, maka al-qudus itulah rupa sifat Allah (al-rahman dan al-rahim, pengasih dan penyayang, pen.), dan yaitulah cahaya yang indah-indah, tiada yang serupa dengan dia sesuatu jua pun. Dari karena itu ruh al-qudus itu menjadi khalifah Tuhan dalam tubuh insan, yang memerintahkan pada segala barang gerak dan dita dan barang sebagainya, tiada sesuatu daripadanya jua…” (T. Iskandar 1987).
Abdul Samad al-Falimbangi, sufi abad ke-18 dari Palembang, mengatakan dalam sebuah kitabnya  bahwa karya Syamsudin Pasai mengupas tasawuf seni yang tinggi sekali peringkatnya.    



2.    Nuruddin al-Raniri.           
Dia adalah seorang ulama sufi, ahli fiqih (fuqaha) dan sastrawan terkemuka berasal dari Ranir, Gujarat, India.  Dalam sejarah intelektual Islam Nusantara dia dikenal sebagai pendebat ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani.  Setelah Sultan Iskandar Tsani naik tahta, dia berlayar ke Aceh dan diterima menjadi ulama istana. Sebelumnya  dia pernah tinggal di Pahang, Malaysia dan menulois bukunya pertama dalam bahasa Melayu Sirat al-Mustaqim. Kitab ini merupakan kitab fiqih ibadah pertama dalam bahasa Melayu. Setelah Iskandar Tsani wafat, oleh penggantinya jabatan ulama istana diberikan kepada murid Syamsudin Sumatrani yaitu Syaif al-Rizal, yang merupakan lawan debat Nuruddin. Dia wafat pada tahun 1658 M. Karya Nuruddin al-Raniri lebih dari 40 buah. Di antaranya ialah Hill al-Zill,  Tybian fi ma`rifah al-adyan, Syaif al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jauhar `Ulum, Kabar Akhirat dan Perikeadaan Hari Kiaamat, `Umdat al-I`tiqad, Hikayat Iskandar Zulkarnain Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman,  dan lain-lain. Seperti Syamsudin, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia mempelajari bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah ketika usianya masih muda.
Karya Nuruddin al-Raniri yang paling terkenal ialah Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), yang ditulis dengan harapan dapat melengkapi kitab Taj al-Salatin yang dianggapnya belum lengkap.  Kitab ini merupakan gabungan sastra kitab, kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak penulisan sejarah dalam kitab ini realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan legenda. Pengaruh tasawuf sangat besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III misalnya tercantum kisah kejadian Nur Muhammad, yang secara simbolik digambarkan sebagai mutiara berkilauan yang bersujud di hadapan Tuhan selama ribuan tahun.
Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I menyatakan kejadian langit dan bumi, terdiri dari sepuluh fasal. Diuraikan di dalamnya bahwa sifat kejadian itu ada empat perkara ialah wadi, wahi, mani dan manikam. Keempatnya merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang dinamakan tubuh jasmani ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit, daging, urat dan tulang. Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan adanya nafsu. Nafsu dibimbing oleh akal, budi, cita dan nyawa.
Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan Nyawa Adam terdiri dari 13 fasal.  Fasal 1 menceritakan nabi-nabi dari Adam hingga Muhammad s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur Muhammad. Karena hakikat dari Adam ialah Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-raja Persia, Byzantium, Mesir dan Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang. Fasal 13 menceritakan raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar Tsani, ulama-ulama Aceh yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat dalam kompleks istana Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan Aceh, dan upacara pula batee (penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh penggantinya, permaisuri almarhum Iskandar Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.
Bab III menceritakan raja-raja yang adil dan wazir-wazir yang cerdik cendekia, terdiri dari 6 fasal. Bab IV menceritakan raja-raja yang gemar melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang saleh. Bab ini terdiri dari 2 fasal. Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang masyhur, Sultan Ibrahim Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir yang keji. Bab VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar pemberani dalam membela kebenaran. Juga diceritakan perjuangan tokoh-tokoh dalam melawan raja yang keji lagi durhaka. Bab VII menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu kedokteran dan segala sifat perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap menyisipkan syair dan kisah-kisah ajaib. Nilai sastra Bustan al-Salatin tampak dalam uraian tentang Taman Gairah dan Gegunungan yang terletak di kompleks istana kesultanan Aceh, sebagai berikut:
“Pada zaman bagindalah (Sultan Iskandar Tsani, pen.) diperbuat suatu bustan yang terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar baginda bustan itu Taman Ghairah… Sebermula di seberang sungai Dar al-`Isyqi itu dua buah kolam, suatu bergelar Jentera Rasa dan suatu bergelar Jantera Hati… Syahdan dari kanan Sungai Dar al-`Isyqi  itu suatu taman terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Hairani. Dan pada sama tengah itu sebuah  gunungan, di atasnya menara tempat semayam, bergelar Gegunungan Menara Pertama, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, puncaknya suasa.”
Taman Gairah ini sebenarnya sudah ada sebelum Iskandar Tsani, namun sultan inilah yang memugarnya menjadi taman baru yang indah dan megah. Gegunungan yang disebutkan itu diperkirakan telah ada sejak abad ke-16 M. Dalam tradisi Islam, pembangunan taman dalam sebuah istana dikaitkan untuk menciptakan suasana seperti di dalam sorga. Taman-taman yang terdapat dalam istana kerajaan  Persia, Mughal, Arab, Andalusia dan lain-lain merupakan lambang kebesaran kerajaan-kerajaan bersangkutan. Ia harus ada sungai yang mengalir, pohon-pohon yang rindang dan lebat buahnya, aneka bunga-bungaan yang indah dan harum semerbak baunya, seperti gambaran yang diberikan al-Qur’an tentang sorga. Dalam tradisi Islam pula, istana sebagai pusat sebuah kerajaan harus merupakan dunia yang lengkap dan sempurna, yang diambangkan dengan adanya taman yang luas, indah dan lengkap isinya. Ada pun fungsinya bukan sekadar untuk tempat bersenang-senang, seperti bercengkrama dengan permaisuri atau putri-putri istana bermain-main. Taman dalam istana kerajaan Islam punya beberapa fungsi khusus seperti tempat sultan menerima pelajaran tasawuf dari guru keruhaniannya dan juga tempat sultan menjamu tam agung dari kerajaan lain.
Kesempurnaan dan keindahan taman dilukiskan oleh Nuruddin al-Raniri sebagai berikut: “Dan di tengah taman itu ada sebuah sungai disebut Dar al-`Isyqi, penuh dengan batu-batu permata; airnya jernih dan sejuk sekali, dan barang siapa meminum airnya akan menjadi segar tubuhnya dan sehat.” Air  adalah lambang kehidupan dan penyucian diri, pembaruan dan pencerahan.


3.    Abdul Rauf al-Sinkil. 
Abdul Rauf Singkel atau al-Sinkili adalah ulama Aceh yang masyhur pada penghujung abad ke-17 M. Dia adalah seorang penulis yang prolifik. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia sering juga dikenal sebagai Abdul Rauf al-Fansuri dan mempunyai hubungan keluarga dengan Hamzah Fansuri. Setelah lama tinggal di Mekkah, sekitar tahun 1640 dia pulang ke Aceh menggantikan peranan Nuruddin al-Raniri yang telah tiga tahun meninggalkan Aceh. Dia seorang penulis yang prolifik. Mir`at al-Tullabmerupakan kitab syariah pertama yang isinya lengkap dalam pustaka Islam Melayu. Dia juga merintis penulisan tafsir al-Qur’an. Karyanya di bidang iniyang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid.
Karya-karya lain yang penting dari Abdul Rauf Singkel ialah Idhah al-Bayan fi Tauhid Masail A`yani, `Umdat alMuhtajina fi Suluk Maslak al-Mufarradina, Ta`bir al-Bayan, Daqa`iq al-Huruf, Majmu` al-Mas`il, Sakrat a-Maut, dan lain-lain. Jika pamannya Hamzah Fansuri adalah pengikut Tariqat Qadiriyah, Abdul Rauf adalah pengikut Tariqat Syatariyah. Sebagai ahlu tasawuf, Abdul Rauf juga menulis beberapa syair tasawuf, namun syair-syairnya itu tidak begitu dikenal. Di antara syairnya yang dijumpai ialah Syair Ma`rifat.Karya-karyanya yang sebagian besar tergolong ke dalam sastra kitab dibicarakan dalam bab lain dalam buku ini
Syekh Abdul Rauf adalah ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antaranya yang terkenal ialah Syekh Jamaluddin al-Tursani dan Syekh Yusuf Mengkasari. Jamaluddin al-Tursani terkenal karena dalam bukunya Syafinat al-Hukkam  memperbolehkan wanita menjadi pemimpin atau raja. Ada pun Yusuf Mengkasari (w. 1799)  adalah seorang ulama yang pernah berjuang melawan kolonialisme Belanda bersama Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Dia dibuang ke Afrika Selatan, tetapi aktivitasnya sebagai ulama, pendakwah dan penulis kitab yang prolifik berlanjut hingga akhir hayatnya di tempat pengasingannya. Karyanya tidak kurang 30 buah dalam bahasa Arab dan Melayu, antara lain ialah al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdatu al-Asrar, Qurrat al-`Ain, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq dan Taj al-Asrar.
Seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin al-Raniri dan gurunya Abdul Rauf Singkel, Yusuf Mengkasari menganut faham wujudiyah. Hanya saja cara menguraikan fahamnya itu berbeda dari keempat tokoh yang telah disebutkan. Menurut Yusuf Mengkasari yang disebut Nur Muhammad atau Hakikat al-Muhammadiyah ialah wadah dari manifestasi sifat-sifat dan pekerjaan Tuhan. Nur Muhammad mempunyai dimensi ganda.Pertama, sebagai asas penciptaan alam semesta. Kedua, sebagai hakikat sejati dari Diri Manusia. Uraiannya yang menarik ialah tentang kiblat manusia, yang menurutnya ada tiga:Kiblat Amal, Kibal Ilmu dan Kiblat Rahasia.Kiblat amal ialah Ka`bah dan Masjid al-Haram di Mekkah. Ia merupakan tempat orang beriman menghadapkan wajah pada waktu salat. Kiblat ilmu ialah seperti disebutkan al-Qur’an, Kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah. Ia merupakan kiblat ahli makrifat. Kiblat rahasia ialah seluruh alam semesta yang di dalamnya terbentang ayat-ayat-Nya.


No comments:

Post a Comment

A History Of Historical Writing (Sebuah Sejarah Penulisan)

Sejarah Berikut adalah poin utama yang telah kita berusaha untuk membangun sejauh dalam bab ini: Sejarah baru lebih dari konsepsi baru ...