PENULIS – PENULIS ACEH ABAD KE-17
Oleh:
NAMA :
RAHMAN ABIDIN
NIM :
2014.131.017
MATA KULIAH :SEJARAH
NASIONAL INDONESIA III
DOSEN :M.
IDRIS. M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2015
Penulis - Penulis Aceh Abad Ke-17
Pada abad ke-17 M Aceh mengalami puncak kejayaannya sebagai
pusat kegiatan politik dan perdagangan di Asia Tenggara. Kerajaan Islam
terbesar di Nusantara ini menjelma sebagai kerajaan maritim yang tangguh dan
sekaligus menjadi pusat penyebaran dan kegiatan intelektual Islam yang sangat
berpengaruh. Sejumlah ulama besar, sastrawan dan sufi terkemuka yang
pemikirannya sangat berpengaruh pada generasi cendekiawan Muslim abad-abad
sesudahnya, muncul secara berkelanjutan dari sini. Suburnya penulisan sastra
dan kitab keagamaan di Aceh terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604), Iskandar Muda (1607-1636) dan Iskandar Tsani
(1637-1641). Selain Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, yang menulis pada
masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah sebagaimana telah disebutkan,
tokoh terkemuka lain yang masyhur dalam penulisan karya sastra dan keagamaan
ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel.
1. Syamsudin al-Sumatrani
Dia juga dikenal sebagai
Syamsudin Pasai, adalah seorang ahli tasawuf dan penulis yang prolifik. Dia
adalah penasehat utama Sultan Iskandar Muda di bidang keagamaan dan
pemerintahan, bahkan pernah menjabat sebagai mufti istana dan perdana menteri.
Ajaran Martabat Tujuh, suatu faham tasawuf wujudiyah yang diasaskan oleh Syekh
Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri di India pada akhir abad ke-16, dirumuskan
sebagai bentuk tasawuf Nusantara yang populer oleh Syamsudin. Sumbangan tokoh
ini terutama dalam penulisan sastra kitab, yaitu karya-karya membahas ilmu-ilmu
keagamaan seperti fiqih, teologi dan tasawuf secara sistematis.
Dalamm hubungannya
dengan sastra, peranan Syamsudin terutama tampak dalam upayanya untuk
mengembangkan kritik sastra berdasarkan hermeneutika sufi yang biasa disebut ta`wil.
Metode ini telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam sejak abad ke-11 M.
Karya Syamsudin mengenai ta`wil tampak dalam risalahnya Syarah
Ruba`i Hamzah Fansuri. Ta`wil adalah metode penafsiran sastra
dengan melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik
yang maknanya berlapis-lapis (makna
lahir, makna batin dan makna
isyarah atausugestif). Pemahaman mendalam hanya dapat timbul
apabila seorang pembaca mampu menembus lubuk terdalam makna, yaitu gagasan dan
pandangan dunia (Weltsanschauung) penulisnya.
Konteks sejarah dan budaya penulis juga harus diketahui sebagai syarat
pemahaman yang mendalam dan bermanfaat. Untuk puisi penyair sufi, simbolisme
sufi juga perlu diketahui dan simbolisme tersebut berkaitan dengan kosmologi,
ontologi, epistemologi dan psikologi sufi. Kata-kata dalam puisi adalah makna
yang diturunkan dari makna-makna, sehingga banyak tafsir dibuat secara meluas
oleh seorang yang berilmu.
Syamsudin al-Sumatrani
tidak banyak menulis puisi. Karya-karyanya terutama berupa risalah tasawuf yang
tergolong sastra kitab. Di antaranya Mir`at al-Mu`minin (Cermin
Orang Beriman),Mir`at al-Iman (Cermin
Keimanan), Zikarat al-Dairati Qaba
Qawsaini aw `Adna(Lingkaran Dua Busur Kehampiran Dengan Tuhan), Mir`
atal-Muhaqqiqin (Cermin
Penuntut Hakikat), Jawahir al-Haqa`iq (Mutiara
Hakikat), Nur al- Daqa`iq, Kitab
al-Haraqah,dan lain-lain.
Nilai estetik karya-karyanya tampak dalam kutipan berikut, yang
menerangkan tentang kedudukan ruh manusia menurut pandangan faham wujudiyah:
“Ada pun ruh
al-qudus itu nyata
pada hati sanubari, maka al-qudus itulah rupa sifat Allah (al-rahman dan al-rahim, pengasih dan penyayang, pen.), dan
yaitulah cahaya yang indah-indah, tiada yang serupa dengan dia sesuatu jua pun.
Dari karena itu ruh al-qudus itu menjadi khalifah Tuhan dalam tubuh insan, yang
memerintahkan pada segala barang gerak dan dita dan barang sebagainya, tiada
sesuatu daripadanya jua…” (T. Iskandar 1987).
Abdul Samad
al-Falimbangi, sufi abad ke-18 dari Palembang, mengatakan dalam sebuah
kitabnya bahwa karya Syamsudin Pasai mengupas tasawuf seni yang tinggi
sekali peringkatnya.
2.
Nuruddin al-Raniri.
Dia adalah seorang ulama
sufi, ahli fiqih (fuqaha)
dan sastrawan terkemuka berasal dari Ranir, Gujarat, India. Dalam sejarah
intelektual Islam Nusantara dia dikenal sebagai pendebat ajaran wujudiyah
Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani. Setelah Sultan Iskandar Tsani
naik tahta, dia berlayar ke Aceh dan diterima menjadi ulama istana. Sebelumnya
dia pernah tinggal di Pahang, Malaysia dan menulois bukunya pertama dalam
bahasa Melayu Sirat al-Mustaqim. Kitab
ini merupakan kitab fiqih ibadah pertama dalam bahasa Melayu. Setelah Iskandar
Tsani wafat, oleh penggantinya jabatan ulama istana diberikan kepada murid
Syamsudin Sumatrani yaitu Syaif al-Rizal, yang merupakan lawan debat Nuruddin.
Dia wafat pada tahun 1658 M. Karya Nuruddin al-Raniri lebih dari 40 buah. Di
antaranya ialah Hill al-Zill, Tybian fi
ma`rifah al-adyan, Syaif al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jauhar `Ulum, Kabar
Akhirat dan Perikeadaan Hari Kiaamat, `Umdat al-I`tiqad, Hikayat Iskandar
Zulkarnain Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman, dan
lain-lain. Seperti Syamsudin, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia
mempelajari bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah ketika usianya masih muda.
Karya Nuruddin al-Raniri
yang paling terkenal ialah Bustan al-Salatin (Taman
Raja-raja), yang ditulis dengan harapan dapat melengkapi kitab Taj
al-Salatin yang
dianggapnya belum lengkap. Kitab ini merupakan gabungan sastra kitab,
kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak penulisan sejarah dalam kitab ini
realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan legenda. Pengaruh tasawuf sangat
besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III misalnya tercantum kisah kejadian
Nur Muhammad, yang secara simbolik digambarkan sebagai mutiara berkilauan yang
bersujud di hadapan Tuhan selama ribuan tahun.
Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I menyatakan kejadian langit
dan bumi, terdiri dari sepuluh fasal. Diuraikan di dalamnya bahwa sifat
kejadian itu ada empat perkara ialah wadi, wahi, mani dan manikam. Keempatnya
merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang dinamakan tubuh jasmani
ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit, daging, urat dan tulang.
Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan adanya nafsu. Nafsu dibimbing
oleh akal, budi, cita dan nyawa.
Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan Nyawa Adam terdiri
dari 13 fasal. Fasal 1 menceritakan nabi-nabi dari Adam hingga Muhammad
s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur Muhammad. Karena hakikat dari Adam ialah
Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-raja Persia, Byzantium, Mesir dan
Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang. Fasal 13 menceritakan
raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar Tsani, ulama-ulama Aceh
yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat dalam kompleks istana
Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan Aceh, dan upacara pula batee
(penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh penggantinya, permaisuri almarhum
Iskandar Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.
Bab III menceritakan raja-raja yang adil dan wazir-wazir yang
cerdik cendekia, terdiri dari 6 fasal. Bab IV menceritakan raja-raja yang gemar
melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang saleh. Bab ini terdiri dari 2 fasal.
Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang masyhur, Sultan Ibrahim
Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir yang keji. Bab
VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar pemberani dalam
membela kebenaran. Juga diceritakan perjuangan tokoh-tokoh dalam melawan raja
yang keji lagi durhaka. Bab VII menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu
kedokteran dan segala sifat perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap
menyisipkan syair dan kisah-kisah ajaib. Nilai sastra Bustan
al-Salatin tampak
dalam uraian tentang Taman Gairah dan Gegunungan yang terletak di kompleks
istana kesultanan Aceh, sebagai berikut:
“Pada zaman bagindalah (Sultan Iskandar Tsani, pen.) diperbuat
suatu bustan yang terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka
ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar baginda
bustan itu Taman Ghairah… Sebermula di seberang sungai Dar al-`Isyqi itu dua
buah kolam, suatu bergelar Jentera Rasa dan suatu bergelar Jantera Hati…
Syahdan dari kanan Sungai Dar al-`Isyqi itu suatu taman terlalu amat
luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Hairani. Dan pada sama
tengah itu sebuah gunungan, di atasnya menara tempat semayam, bergelar
Gegunungan Menara Pertama, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak
seperti sisik rumbia, puncaknya suasa.”
Taman Gairah ini sebenarnya sudah ada sebelum Iskandar Tsani,
namun sultan inilah yang memugarnya menjadi taman baru yang indah dan megah.
Gegunungan yang disebutkan itu diperkirakan telah ada sejak abad ke-16 M. Dalam
tradisi Islam, pembangunan taman dalam sebuah istana dikaitkan untuk
menciptakan suasana seperti di dalam sorga. Taman-taman yang terdapat dalam
istana kerajaan Persia, Mughal, Arab, Andalusia dan lain-lain merupakan
lambang kebesaran kerajaan-kerajaan bersangkutan. Ia harus ada sungai yang
mengalir, pohon-pohon yang rindang dan lebat buahnya, aneka bunga-bungaan yang
indah dan harum semerbak baunya, seperti gambaran yang diberikan al-Qur’an
tentang sorga. Dalam tradisi Islam pula, istana sebagai pusat sebuah kerajaan
harus merupakan dunia yang lengkap dan sempurna, yang diambangkan dengan adanya
taman yang luas, indah dan lengkap isinya. Ada pun fungsinya bukan sekadar
untuk tempat bersenang-senang, seperti bercengkrama dengan permaisuri atau
putri-putri istana bermain-main. Taman dalam istana kerajaan Islam punya
beberapa fungsi khusus seperti tempat sultan menerima pelajaran tasawuf dari
guru keruhaniannya dan juga tempat sultan menjamu tam agung dari kerajaan lain.
Kesempurnaan dan keindahan taman dilukiskan oleh Nuruddin
al-Raniri sebagai berikut: “Dan di tengah taman itu ada sebuah sungai disebut
Dar al-`Isyqi, penuh dengan batu-batu permata; airnya jernih dan sejuk sekali,
dan barang siapa meminum airnya akan menjadi segar tubuhnya dan sehat.”
Air adalah lambang kehidupan dan penyucian diri, pembaruan dan
pencerahan.
3. Abdul Rauf al-Sinkil.
Abdul Rauf Singkel atau
al-Sinkili adalah ulama Aceh yang masyhur pada penghujung abad ke-17 M. Dia
adalah seorang penulis yang prolifik. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa
Melayu dan Arab. Dia sering juga dikenal sebagai Abdul Rauf al-Fansuri dan
mempunyai hubungan keluarga dengan Hamzah Fansuri. Setelah lama tinggal di
Mekkah, sekitar tahun 1640 dia pulang ke Aceh menggantikan peranan Nuruddin
al-Raniri yang telah tiga tahun meninggalkan Aceh. Dia seorang penulis yang
prolifik. Mir`at al-Tullabmerupakan
kitab syariah pertama yang isinya lengkap dalam pustaka Islam Melayu. Dia juga
merintis penulisan tafsir al-Qur’an. Karyanya di bidang iniyang terkenal ialah Tarjuman
al-Mustafid.
Karya-karya lain yang
penting dari Abdul Rauf Singkel ialah Idhah al-Bayan fi Tauhid Masail
A`yani, `Umdat alMuhtajina fi Suluk Maslak al-Mufarradina, Ta`bir al-Bayan,
Daqa`iq al-Huruf, Majmu` al-Mas`il, Sakrat a-Maut, dan
lain-lain. Jika pamannya Hamzah Fansuri adalah pengikut Tariqat Qadiriyah,
Abdul Rauf adalah pengikut Tariqat Syatariyah. Sebagai ahlu tasawuf, Abdul Rauf
juga menulis beberapa syair tasawuf, namun syair-syairnya itu tidak begitu
dikenal. Di antara syairnya yang dijumpai ialah Syair
Ma`rifat.Karya-karyanya yang sebagian besar tergolong ke dalam
sastra kitab dibicarakan dalam bab lain dalam buku ini
Syekh Abdul Rauf adalah
ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antaranya yang terkenal ialah Syekh
Jamaluddin al-Tursani dan Syekh Yusuf Mengkasari. Jamaluddin al-Tursani
terkenal karena dalam bukunya Syafinat al-Hukkam memperbolehkan
wanita menjadi pemimpin atau raja. Ada pun Yusuf Mengkasari (w. 1799)
adalah seorang ulama yang pernah berjuang melawan kolonialisme Belanda bersama
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Dia dibuang ke Afrika Selatan, tetapi aktivitasnya
sebagai ulama, pendakwah dan penulis kitab yang prolifik berlanjut hingga akhir
hayatnya di tempat pengasingannya. Karyanya tidak kurang 30 buah dalam bahasa
Arab dan Melayu, antara lain ialah al-Naftahu al-Sailaniya,
Zubdatu al-Asrar, Qurrat al-`Ain, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq dan Taj
al-Asrar.
Seperti Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Pasai, Nuruddin al-Raniri dan gurunya Abdul Rauf Singkel, Yusuf
Mengkasari menganut faham wujudiyah. Hanya saja cara menguraikan fahamnya itu
berbeda dari keempat tokoh yang telah disebutkan. Menurut Yusuf Mengkasari yang
disebut Nur Muhammad atau Hakikat al-Muhammadiyah ialah wadah dari manifestasi
sifat-sifat dan pekerjaan Tuhan. Nur Muhammad mempunyai dimensi ganda.Pertama, sebagai
asas penciptaan alam semesta. Kedua, sebagai
hakikat sejati dari Diri Manusia. Uraiannya yang menarik ialah tentang kiblat
manusia, yang menurutnya ada tiga:Kiblat
Amal, Kibal Ilmu dan Kiblat Rahasia.Kiblat
amal ialah Ka`bah dan Masjid al-Haram di Mekkah. Ia merupakan tempat orang
beriman menghadapkan wajah pada waktu salat. Kiblat ilmu ialah seperti
disebutkan al-Qur’an, Kemana pun kau memandang akan
tampak wajah Allah. Ia merupakan kiblat ahli makrifat. Kiblat
rahasia ialah seluruh alam semesta yang di dalamnya terbentang ayat-ayat-Nya.